MESKI LUKA, MESKI DERITA, TETAP AKU MILIKMU
Oleh : M. Andika Saputra
Malam, salah satu kuasa Tuhan yang tak pernah lelah
untuk dipandangi dan tiada henti untuk dikagumi, bagaimana tidak? Langit malam
yang hitam pekat dihiasi oleh bulan dan bintang yang memancarkan keindahan
cahaya terangnya, mampu memberikan ketenangan dan keteduhan bagi segelintir
ciptaan-Nya, namun tidak untukku. Hari-hariku di sini tak secerah dan tak
seindah malam ini. Sudah hampir setengah jam aku memandangi keindahan dan
kecerahan langit malam ini, namun keindahannya tetap tak mampu mengurangi beban
yang selalu mengikuti dan bertahta di pundak bak hantu yang selalu
menggentayangiku, pun kecerahannya juga tak mampu memberikan cahaya akan
gelapnya jalan yang ada dihadapanku.
Banyak
orang yang ingin dekat denganku hanya disaat lemariku penuh dengan makanan
saja, tetapi jika sudah tidak ada lagi makanan yang bisa mereka harap dariku
jangankan mendekat, melirikku saja mungkin mereka tidak mau. Hmmm, beginilah
cobaan hidup yang aku hadapi dan terasa sangat berat bagiku.
Aku
kini duduk di bangku kelas enam KMI, ya aku telah melewati hampir semua fase
kehidupan yang ada di Pondok Pesantren Diniyyah yang berada di Kabupaten Agam,
Sumatera Barat ini. Banyak pengalaman sebagai seorang santri yang aku dapat di
sini. Dari kelas satu yang baru merasakan bagaimana rasanya hidup terpisah dari
orang tua, dan harus berusaha untuk bisa hidup mandiri yang membuka daftar
panjang masa sulit dalam hidupku. Aku harus beradaptasi dengan suasana yang
sangat asing di pondok ini. Semua ini berawal dari kehendak kedua orang tuaku
yang memaksaku untuk belajar dan terperangkap di pondok pesantren ini. Aku
seperti terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam, kelam, hingga aku tak
tahu apa yang ada di sekitarku dan bagaimana caraku untuk bisa merangkak
kembali. Aku bahkan tak memiliki keyakinan untuk bisa menggapai tempat dimana
aku berdiri sebelum terjatuh tadi, apalagi untuk bisa lebih tinggi dari itu.
Aku berusaha untuk melupakan semua, akan tetapi semakin keras usahaku untuk
melupakan semakin jelas ingatan itu tertancap di kepalaku. Berbagai macam
rintangan sudah menungguku di depan sana, bahkan untuk memulainya pun aku
terlalu takut, terlalu takut membayangkan bagaimana jika aku terjatuh lagi.
Masalah
demi masalah pun selalu menghampiri kehidupanku sebagai seorang santri. Belum
habis masalahku yang ditinggal paksa oleh orang tuaku di pondok ini, masalah
baru pun datang. Teman-temanku mengucilkanku karena lemariku yang kurang rapi.
Lemari itu akan rapi jika kakak kelas lima yang bertugas sebagai pengawas di
kamar itu membantuku merapikannya, namun itu tidak bertahan lama. Ahh, betapa
cerobohnya tanganku ini. Belum sampai setahun umurku di pondok ini, aku
mendapat julukan yang disematkan setelah namaku. Julukan itu merajalela ke
berbagai kelas, mulai dari teman, kakak kelas, hingga guru pun memanggilku
dengan julukan itu. Bahkan Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) yang
dianggotai oleh kelas lima KMI pun sering bertanya kepadaku dengan julukan itu,
“Strong, kamu lagi, apa kamu tidak bosan melanggar peraraturan di pondok ini?”
“STRONG”,
ya begitulah julukan yang mereka berikan kepadaku, begitulah mereka memanggil
namaku. Aku pun tak tahu entah mengapa mereka memanggilku dengan sebutan itu.
Awalnya aku menolak mereka memanggilku dengan nama itu, tapi karena keseringan
dan kebanyakan orang memanggilku itu, nama itu pun telah masyhur dan menjadi
nama panggilanku sehari-hari, bahkan mungkin mereka sampai lupa namaku yang
sebenarnya. Aku hanya bisa pasrah dan membiarkan mereka memanggilku dengan
julukan itu, karena bagiku asal mereka bahagia akupun ikut bahagia, dan kalau
dengan cara itu aku bisa berteman maka aku akan merelakannya. Aku sendiri sudah
lupa siapa manusia picik yang pertama kali memanggilku dengan sebutan itu sampai
akhirnya diikuti oleh semua orang di pondok ini.
Julukan
strong yang mereka sematkan padaku bukanlah kata-kata “strong” yang dipikirkan
semua orang, bukan. Mereka menyebutku strong bukan karena aku kuat atau
semacamnya, namun itu adalah nama penghinaan yang mereka persembahkan untukku. Ada rasa kesal, marah, sedih, dan
kecewa dengan orang-orang yang menyebutku dengan julukan itu, karena orang
tuaku sudah dengan susah payah memberiku nama “Bintang Purnama Ramadhan”, yang
di dalamnya juga terselip doa orang tua untuk buah hatinya yang sangat
berharga. Sakit, letih, muak sudah pasti kurasakan dikala semua orang
memanggilku dengan julukan itu, tapi apalah dayaku, untuk marah pun aku tak
bisa karena hampir semua warga pondok memanggilku begitu, karena mungkin hanya
adik kelas saja yang tidak memanggilku begitu.
Kelas
dua di pondok pesantren, aku kira semua masalah akan sirna begitu saja atau
paling tidak mulai berkurang sedikt demi sedikit dan keberadaanku mulai
diterima disini, namun ternyata tidak. Awalnya memang mulai menyenangkan
bagiku, karena dari sekian banyak teman seangkatanku, masih ada tiga orang yang
mau mendekatkan diri denganku. Aku merasa sangat senang karena masih ada yang
yang mau berteman denganku yang serba kekurangan ini. Mereka pun berkata padaku,
“Bintang, maafkan kami yang dulu juga ikut mengejekmu, bahkan tidak peduli
denganmu.” Aku tersenyum diringi dengan anggukan seraya berkata, “Tidak apa,
aku sekarang sudah terbiasa begitu”. Mereka pun melihatku dengan mata sendu dan
perasaan bersalah. “Kami akan membuatmu tegar sekarang, jadi jangan pernah lagi
bersedih sendirian, ada kami disini untukmu”, kata Algi dengan badannya yang
besar sambil berdiri dan merangkulku. Secercah cahaya pun mulai tampak olehku,
jurang yang sangat dalam dan kelam itu pun seakan dangkal dan sangat terang
bagiku, karena aku sudah punya teman-teman yang akan memberikan dukungan mereka
dan membawaku ke jalan yang seharusnya aku tempuh. Hati ini pun bergetir, aahh
terima kasih Ya Allah, Engkau akhirnya mengirimkan secercah cahayaMu untukku
melalui mereka, terima kasih karena Engkau telah menjadi sebaik-baik penolong
untuk hambaMu. Aku pun tidak boleh lagi berlarut-larut dalam kesedihan dan
ketersesatan, karena mereka juga terus berusaha melawan orang-orang yang selalu
mengejekku, terima kasih teman.
Suasana kesenangan itu pun tidak
bertahan lama hingga aku dapat mencapai puncak dari cahaya terang itu.
Pertengahan kelas dua, ketiga orang temanku pindah dari pondok pesantren ini
dengan alasan mereka masing-masing. Temanku yang satu pindah karena pekerjaan
orang tuanya yang dipindahkan ke Pulau Jawa, yang satu karena nilai akademik
yang rendah dan akhlak yang kurang baik sering cabut dari pondok, dan satu lagi
tidak diketahui penyebab dia pindah. Ingin sekali rasanya aku mengikuti langkah
mereka pindah dari pondok pesantren ini, tetapi tidak pernah diizinkan oleh
orang tuaku. Aku pun selalu kesal karenanya, namun setiap kali aku kesal aku
selalu ingat bahwa karena orang tuaku aku bertahan disini.
Hari demi hari kulewati, hadang
rintangan kulalui sendiri tanpa teman disampingku lagi. Mereka yang dulunya
pernah berhenti mengejekku karena adanya tiga teman di dekatku, kini kembali
mengejekku lagi. Seakan dunia terasa berbeda, tidak seperti duniaku enam bulan
terakhir.
Kelas tiga hingga kelas lima telah
kulewati dengan masalah-masalah yang menghantui hidupku semenjak aku di kelas
satu. Entah kenapa aku masih bisa bertahan di jalan yang sangat kelam bagiku
ini. Bahkan, melihat telapak tanganku sendiri pun aku tak bisa. Jalan yang
telah kulalui begitu curam, kelam, bahkan untuk melihat puncak bahagia itu
sendiri aku tak bisa dan aku tak berani. Bisa dibayangkan lima tahun sudah aku
dicaci, dibully, dan dikucilkan. Siapa yang akan bertahan dengan siksaan
seperti itu. Aku pun tak tahu mengapa aku bisa bertahan disini. Aku hanya bisa
berdoa kepada Allah agar mereka diberi jalan yang lurus dan tidak terus menerus
menumpuk dosa mereka seperti yang mereka lakukan sebelumnya.
Awal kelas enam di pesantren ini adalah
peristiwa yang sangat penting bagiku. Mungkin jarang sekali orang yang
merasakan peristiwa dan pengalaman yang aku alami. Pada malam yang indah itu,
aku pergi ke rooftop untuk
menyendiri. Tak lama sejak aku berdiri memandangi langit malam yang cerah,
namaku dipanggil oleh ustad. Singkat kata, orang tuaku dipanggil oleh ustad dan
disuruh untuk menghadap beliau keesokan harinya. Aku langsung meminjam telepon
genggam ustad, dan menelepon ibu agar datang ke sekolah besok. Tanpa banyak
bertanya, ibuku langsung mengiyakan kata-kataku.
Keesokan harinya, tepat jam tiga ibu dan
ayahku sudah datang di pondok pesantren. Aku mengetahuinya dari guru piket yang
memanggilku dan menyuruhku pulang ke kampus tiga. Aku pun beranjak dari
tempatku belajar atau kampus satu dengan berjalan kaki yang jaraknya lima menit
perjalanan. Tiba di kampus tiga, aku langsung melihat ibuku yang sudah
menungguku di depan ruang tamu. Mata sendunya menatapku, seakan belum pernah
menatapku bertahun-tahun, aku tahu ada kerinduan dan makna tersirat dari
tatapan itu, tapi aku ragu untuk bertanya. Kemudian dia berdiri merangkulku,
lalu seraya berkata, “Nak, ayuk kita pulang, ayahmu sudah menunggu di mobil”,
sambil menoleh ke arah mobil yang sudah dimakan usia itu.
“Apa yang telah terjadi ibu? Mengapa
tiba-tiba aku dibawa pulang seperti ini?”, tanyaku terkejut.
“Ikuti saja perintah ibu”, kata ibu,
lalu berdiri dan mulai berjalan ke arah mobil itu tanpa melirikku sedikitpun.
Aku mulai bertanya-tanya kenapa aku dibawa pulang secara tiba-tiba. Aku hanya
bisa menuruti perintah ibu dan masuk ke dalam mobil.
Di
dalam mobil, udara yang sejak dari awal memang sudah dingin terasa bertambah
dingin dengan segala keheningan yang tercipta. Tak satupun dari ayah atau ibu
yang mau untuk memulai pembicaraan. Bahkan, aku pun takut untuk memulainya.
Keheningan pun berlanjut hingga akhirnya kami sampai di depan rumah.
Setelah memarkirkan mobilnya ayah dan ibu
langsung turun dari mobil, dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku yang hanya
bisa melihat punggung mereka, hanya bisa diam dan mengikuti mereka masuk ke
rumah dengan segala pertanyaan yang berkecamuk di pikiranku.
Ketika aku masuk ke rumah, sang ibu
langsung mendekapku, dekapan yang sudah sangat lama tidak kudapati, dekapan itu
hangat, erat dan penuh dengan arti. Setelah cukup rasanya ibu mendekapku, ibu
memegang bahuku. Ibu menatapku lagi dengan tatapan penuh arti, perlahan air
matanya mengalir, dan membuat peta sungai amazon di pipinya. Dengan
mengumpulkan seluruh keberanian, aku bertanya, “Kenapa ibu menangis?”
“Maafkan Ibu sayang,” hanya itu kata yang
keluar dari mulutnya.
“Iya Bu, tapi bilang dulu kenapa Ibu
menangis?”,
“Maaf kalau Ibu mengecewakanmu, kamu
sekarang di pulangkan karena uang sekolahmu yang telah lama menumpuk,” ujar
ibu, memang selama ini ibu menyembunyikan itu semua dariku.
“Baiklah Bu, jangan menangis lagi, aku
akan mengerti dengan semua ini, aku akan menerima semuanya,” kataku dengan
pasti agar ibu tetap tegar dan bisa untuk tidak menangis lagi. “Jangan sedih ya
Nak, Ibu pasti akan melunasi semua itu, agar kamu dapat bersekolah lagi,” kata
ibu.
Aku banyak berpikir tentang acara di
pondok, aku baru teringat kalau seminggu lagi acara pertukaran OPPM, acara yang
sangat penting bagiku, tapi aku menyembunyikannya dahulu agar ibu tidak terlalu
memikirkan itu. Setelah lima hari, aku menghadap kepada ibu, lalu berkata, “Bu,
dua hari lagi adalah acara pergantian pengurus OPPM, apakah aku bisa
mengikutinya?”
“Maafkan Ibu Nak, Ibu belum bisa
mencukupi kebutuhanmu, bisa kan kamu tidak hadir dalam acara itu?” aku hanya
bisa mengangguk pelan dan langsung pergi ke kamar.
Aku mendengar isak tangis dari ibu, lalu
keluar, lalu ibu diam dan menatapku, untuk tidak memancing pertanyaan ibu, aku
langsung izin ke teras rumah. Disana aku melihat langit yang masih mendung
setelah hujan. Bintang pun hanya satu dua yang muncul tak seperti biasanya, aku
menatapnya. Dalam hati aku berkata “Mengapa harus aku yang menghadapi semua?
Aku tidak sanggup lagi dengan apa yang telah menimpaku, tapi aku juga ingat
Allah pernah berkata, Ia tidak akan menguji hambanya diluar batas kemampuannya.
Setelah lama aku mengutarakan isi hatiku kepada langit gelap malam, aku masuk
rumah dan langsung berbaring ke tempat tidurku. Berharap dapat mimpi yang indah
pada malam ini.
Tepat dua puluh hari setelah orang tuaku
dipanggil, aku mulai bersekolah lagi. Orang tuaku menyuruh, tapi ketika kutanya
apakah mereka sudah menyelesaikan semua, mereka menggeleng, ayah yang menjawab
“Ustad menyuruhmu balik agar pelajaranmu tidak jauh tertinggal,” aku mengangguk
lalu pergi melaksanakan pelajaranku yang telah tertinggal.
Belum sebulan aku di pondok, kabar baru
datang dari ustad bahwa ibuku menelponku, akupun menjawab telpon itu.
“Nak, kamu harus pulang sekarang,” begitu
kata ibu dengan suara seraknya dibalik telpon tanpa menjawab apa sebab aku
pulang, aku pun meminta izin ke pengasuhan, ustad pun mengangguk tanpa banyak
tanya, yang terpikir olehku hanya satu, ustad sudah tau masalah ibuku.
Sampai di depan rumah, aku terkejut bukan
kepalang, banyak orang berpakaian hitam-hitam di depan rumahku dan melihatku
dengan tatapan pilu, aku langsung membanting tas yang kubawa tadi, lalu berlari
ke dalam rumah. Aku tidak menyangka ada orang yang berbaring dengan kain batik
yang menutupi seluruh badannya. Hatiku sangat sakit, lututku sangat lemah,
seakan tidak kuat lagi menopang tubuh ini, aku terduduk.
“Nak ayahmu sudah duluan menyambut
panggilannya,” kata ibu yang datang di belakangku dengan suara lirihnya, aku
tidak dapat berkata apa-apa. Lalu membuka penutup wajah orang yang terkulai
lemah di tempat tidur itu. Dan memang ayahku yang berbaring itu.
Air mataku mulai menetes, aku menutup
kain itu, lalu pergi keluar rumah, dan menangis, banyak orang-orang yang
melihatku, juga mendukungku agar bisa bersikap tenang, tetapi tetap saja aku
tidak bisa menerima semuanya. Arman, teman yang selau bermain denganku dari
kecil datang memelukku dari belakang, seraya membisikkan, “Kamu yang kuat Bintang,
percayalah, apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik bagimu, kamu pasti
bisa ingat hadist itu, karena aku juga baru saja mempelajarinya. Aku
mengangguk, lalu bangkit, dan langsung menata hati ini dengan serapi mungkin
agar tidak meratapi kepergian ayah.
Penyelenggaraan jenazah diselenggarakan
dengan seksama, semua dilaksanakan yang dikepalai oleh diriku, mungkin ini
mereka menyuruhku masuk pondok dan mempelajari ilmu-ilmu agama, dengan harapan
bisa menyelenggarakan mereka kelak jika mereka sudah tiada.
Aku balik ke pondok setelah tiga hari di
rumah menerima tamu yang ikut ta’ziyah di rumahku. Aku kembali seperti dulu
lagi, menjadi Bintang yang sama. Hanya saja, teman-temanku tidak seperti dulu,
mereka lebih simpati kepadaku, tidak ada lagi yang mengejekku, entah karena aku
sudah menjadi anak yatim atau bagaimana aku tidak tau, terimakasih teman atas
perubahan kalian terhadapku.
Singkat cerita sekarang adalah waktunya
perpisahan di Pondok Pesantren Modern Diniyyah Pasia, perpisahan generasiku,
aku ikut serta di dadalamnya, para orangtua dan wali murid sudah datang. Namun,
sosok yang kutunggu-tunggu tak kunjung muncul. Aku terus bertanya tanya, kemana
ibu? Mengapa sudah lima menit sebelum acara di mulai beliau belum datang?. Perasaanku
pun mulai tak karuan.
Acara pun dimulai tepat pukul 09.00 aku
duduk di barisan teman-temanku mendengarkan satu persatu nama di panggilkan,
serta menyebutkan hasil ujianku sebulan yang lalu,
“Abdul...
Andre.....
......
......
Bintang Purnama Ramadhan, anak dari bapak
Alm. Nuruddin Ramadhan, dengan rata-rata 93,25 predikat istimewa,
.....
.....
......
Zainul Akmal.....”
Nama-nama telah disebutkan semua,
sekarang adalah penentuan juara umum.
“Juara umum dua diraih oleh anak kita,
Fathiyah Adzikra dengan rata-rata 92,75,” tepuk tangan yang meriah diraihnya,
aku masih bingung memikirkan kemana orang tuaku pergi, dimana Ibu? Aku sangat
takut terjadi apa apa sekarang, karena terakhir aku menelpon beliau berjanji
akan datang. Aku tidak fokus sedikitpun bahkan nilaiku saja aku tidak
mendengarnya.
“Juara umum satu diraih oleh anak kita,
Bintang Purnama Ramadhan dengan nilai 93,25.” tepuk tangan lebih meriah
dibanding yang tadi, aku masih ragu, ini hanya khayalanku atau aku salah dengar
atau ustad yang memanggilku salah memanggil, teman ku mendorongku ke depan, dan
ternyata itu memang namaku, aku dimintai ke depan dengan keluargaku. Tapi
bahkan aku tidak membawa keluarga satu pun, aku maju ke depan dengan tatapan
lain dari tamu yang hadir, mereka pasti bertanya-tanya kemana ayah dan ibuku,
mengapa aku sendiri yang maju?
Aku juga dimintai untuk mengungkapkan
beberapa patah kata, aku menyampaikan dengan sangat singkat karena dipikiranku
hanya ada orangtuaku, aku bingung dan langsung menutupnya dengan salam.
Setelah itu aku langung pergi dari
panggung tanpa mengambil piala yang akan diberikan kepadaku, aku sangat sedih
karena hanya aku tanpa wali disini. Ustad Zainal selaku wali kelasku
memanggilku, “Bintang, beberapa jam yang lalu ada kecelakaan bus pariwisata
dari jalan Padang Panjang manuju Agam,” beliau tertegun. “Sebaiknya kamu segera
kesana, pakai saja motor saya biar lebih cepat” pintanya.
Aku langsung mengambil motor itu lalu
mengendarainya dengan kecepatan penuh, otakku sedang tidak tenang sekarang,
bagaimana dengan kondisi ibuku? Apakah dia baik-baik saja atau ... aku takut
berpikir macam-macam.
Sampai di tempat kecelakaan, entah berapa
kecepatan sepeda motor yang kubawa, aku tidak lagi memikirkan keselamatanku
sendiri, yang ada di otakku hanya ibuku. Bus yang dikatakan ustad itu hancur
tebakar, karena ledakan, pikiranku melayang, aku tidak tahu harus bagaimana,
aku terduduk, menangis memekik sekeras mungkin, jas putih yang ku pakai tadi
sudah kotor. Orang-orang memandangiku, aku tak tau harus bagaimana. Hidupku
tiada arti sekarang.
Tak lama setelah itu bus jurusan agam
datang lagi, dan tiba tiba berhenti di depanku, lalu keluarlah wajah yang
berseri dengan keriput- keriputnya karena dimakan usia, iya benar itu ibuku,
aku langsung berlari dan mendekapnya, sangat erat.
“Bu, aku takut Ibu yang berada dalam bus
yang terbakar itu,” kataku dengan lunak
“Memang awalnya ibu disana, tadi sebelum
kesini ibu sakit perut dan meminta berhenti sebentar, tapi bus itu meninggalkan
Ibu, karena ada kecelakaan bus ini, bus berikutnya di tunda selama dua jam, ya
Ibu nunggu deh, maaf ya Ibu tidak bisa hadir dalam perpisahanmu,” sahut ibu
“Ya Bu, tidak apa-apa Ibu selamat saja
aku sudah senang,”
Terima kasih ya allah, engkau telah
menyelamatkan ibuku, aku takut, semua terjadi, jangan cabut nyawanya sebelum
aku bisa membuatnya bahagia ya Allah, dan bagi kalian yang mempunyai nasib yang
sangat pilu, jangan pernah menyalahkan Allah atas semua kejadian itu,
percayalah, setelah kesusahan ada kesenangan. Allah terlah berjanji dalam
al-qur’an yang artinya, “Sungguh, setelah kesusahan itu aku akan datangkan
kemudahan” dan benar dengan apa yang terjadi padaku selama ini, terkahir aku
tegaskan, jangan salahkan Allah atas apa yang telah terjadi.
Sebagai umatNya kita harus selalu husnudzhan kepada semua rencana Allah, karena
tidak ada sebaik-baik penolong melainkan Allah SWT. Tidak ada yang sia-sia di
mata Allah. Semua hal yang kita alami akan dibalas oleh Allah dengan baik
selama kita yakin dan percaya bahwa kita punya Allah dan kita semua milik Allah.
Jangan merasa tertinggal dan terpuruk sendiri, karena Allah tidak pernah
meninggalkan kita sendirian. Akan selalu ada cahaya dalam setiap kegelapan.
Terharu.... Semangat terus penulisnya, menebarkan inspirasi dan motivasi
ReplyDeleteSukaaaa❤
ReplyDeleteLuar biasa, mantap
ReplyDeleteKerennnn... Tabah dana sabarnya bintang menjalani hidupnya :"" . Semangattt :)
ReplyDeleteMantaaapp..
ReplyDeleteDitunggu. Edisi selanjutnya ok
Cerpen yang bagus dan mempesona.. Menjiwa amat pemuda milenialnya... Selalulah berkarya kakak.. Di tunggu ediai selnjutnya..
ReplyDeleteMantap
ReplyDeleteBahasa yg di gunakan masih ada beberapa kalimat dalam bahasa sehari2 atau bahasa pondok. Alangkah baiknya jika kalimat2 tersebut di ubah menjadi kalimat yang formal.(jika mengunakan bahasa sehari-hari pondok dalam jumlah sedikit tidak mengapa agar supaya menjadi daya tarik pembaca) karena orang yang membaca karya ini tidak hanya orang-orang yang dari pondok. Mungkin saja dari SMK, SMA, atau lainnya.
ReplyDeleteKisah nya menginspirasi, tapi kata kata yang digunakan dan penggambaran latar suasananya masih kurang, tapi sudah bagus kok, ditunggu edisi selanjutnya
ReplyDeleteInspirator terbaik cukup untuk mewakili author cerpen ini. Salam sukses. Terus berkarya.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteGood luck for you pak😜😉👍
ReplyDeleteGood luck for you pak😜😉👍
ReplyDeleteGood
ReplyDeleteMantap terus berkarya
ReplyDeleteCerpen mu bisa menjadi inspirasi orang" salam dri bengkulu
Bagus sekali cerpennya, sangat menginspirasi.
ReplyDeleteMakasih.... Tolong share juga yaaa😉😉
DeleteKerenn kk andika
DeleteVery good story, very inspiring.
ReplyDeleteMakasih,,, bantu share juga ya,,, biar yang lain juga terinspirasi 😉😉
DeleteSemoga sukses selalu
ReplyDeleteAamiin,, bantu share juga yaaa
DeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteGood♥♥
ReplyDeleteGood
ReplyDeletegagah cerpennya dik
ReplyDeleteMakasih yaaa,,
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSemoga sukses sllu and good luck ♥
ReplyDeleteKeren!!
ReplyDeleteKyaknya ann tau lah siapa✌✌
Keren!!
ReplyDeleteKyaknya ann tau lah siapa✌✌
How do I win at the live casino?
ReplyDeleteWith a live 슈어벳주소 casino, 사다리사이트 you will find the best slots, kbo 분석 blackjack, roulette, 강원 랜드 여자 노숙자 keno and plenty more. The first 라이브스코어사이트 place to play the live casino
IGT Gaming, Casinos, and Games for sale in Maricopa
ReplyDeleteFind your complete list of casinos, games and games at IGT Gaming casino-roll.com in Maricopa, Arizona. หารายได้เสริม casinosites.one 1. Casinos apr casino in Casino at Residence